ERNEST DOUWES DEKKER
Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; lahir di Pasuruan, Hindia Belanda, 8 Oktober 1879 –meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.
Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; lahir di Pasuruan, Hindia Belanda, 8 Oktober 1879 –meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.
Ia adalah
salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan
pemerintah penjajahan Hindia Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia
Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan
Indonesia, selain dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Suwardi
Suryaningrat.
Sebagai wartawan yang kritis dan
aktivitas awal Douwes Dekker dipulangkan ke Hindia Belanda pada
tahun 1902, dan bekerja sebagai agen pengiriman KPM, perusahaan pengiriman
milik negara. Penghasilannya yang lumayan membuatnya berani menyunting Clara
Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman yang tinggal di Hindia
Belanda, pada tahun 1903.
Kemampuannya
menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat ia
ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief. Di sinilah ia mulai merintis
kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke
perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis
terhadap kebijakan kolonial. Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch
Nieuwsblad, 1907,
tulisan-tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel
yang tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908
di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant setelah versi bahasa
Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet der
ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie" (Kebangkrutan prinsip etis
di Hindia Belanda) kemudian pindah di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar
tujuh bulan kemudian (akhir Agustus) seri tulisan panas berikutnya muncul di
surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?"
(Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan koloni-koloninya?), versi
Jermannya berjudul "Hollands kolonialer Untergang"). Kembali
kebijakan politik
etis dikritiknya.
Tulisan-tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam radar intelijen penguasa.
Kegiatan jurnalistik dan Peristiwa
Polanharjo Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara Douwes Dekker aktif kembali dalam
dunia jurnalistik dan organisasi. Ia menjadi redaktur organ informasi Insulinde yang bernama De Beweging. Ia
menulis beberapa seri artikel yang banyak menyindir kalangan pro-koloni serta
sikap kebanyakan kaumnya: kaum Indo. Targetnya sebetulnya adalah de-eropanisasi
orang Indo, agar mereka menyadari bahwa demi masa depan mereka berada di pihak
pribumi, bukan seperti yang terjadi, berpihak ke Belanda. Organisasi kaum Indo
yang baru dibentuk, Indisch Europeesch Verbond (IEV), dikritiknya dalam seri tulisan
"De tien geboden" (Sepuluh Perintah Tuhan) dan "Njo Indrik"
(Sinyo Hendrik). Pada seri yang disebut terakhir, IEV dicap olehnya sebagai
"liga yang konyol dan kekanak-kanakan". Sejumlah pamflet lepas yang cukup dikenal juga ditulisnya pada
periode ini, seperti "Een Natie in de maak" (Suatu bangsa tengah
terbentuk) dan "Ons volk en het buitenlandsche kapitaal" (Bangsa kita
dan modal asing).
Pada rentang
masa ini dibentuk pula Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai organisasi pelanjut Indische
Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan perpecahan di
kalangan anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan Indo) dan
yang progresif (menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia
pribumi). NIP akhirnya bernasib sama seperti IP: tidak diizinkan oleh
Pemerintah.
Pada tahun
1919, Douwes Dekker terlibat
(atau tersangkut) dalam peristiwa protes dan kerusuhan petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo,
Klaten. Ia terkena kasus
ini karena dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka dengan
orang-orang Insulinde cabang Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan
dilakukan pada tahun 1920 di Semarang. Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus
baru menyusul dari Batavia: ia dituduh menulis hasutan di surat kabar yang
dipimpinnya. Kali ini ia harus melindungi seseorang (sebagai redaktur De
Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis
"Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!".
Yang membuatnya kecewa adalah ternyata alasan penyelidikan bukanlah semata
tulisan itu, melainkan "mentalitas" sang penulis (dan dituduhkan ke Douwes Dekker). Setelah melalui
pembelaan yang panjang, Douwes Dekker
divonis bebas oleh pengadilan.
Aktivitas pendidikan dan Ksatrian
Instituut Sekeluarnya dari tahanan dan rentetan pengadilan, Douwes Dekker cenderung meninggalkan
kegiatan jurnalistik dan menyibukkan diri dalam penulisan
sejumlah buku semi-ilmiah dan melakukan penangkaran anjing gembala Jerman dan aktif dalam organisasinya.
Prestasinya cukup mengesankan, karena salah satu anjingnya memenangi kontes dan
bahkan mampu menjawab beberapa pertanyaan berhitung dan menjawab beberapa
pertanyaan tertulis atas dorongan Suwardi
Suryaningrat yang
saat itu sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, ia kemudian ikut dalam dunia
pendidikan, dengan mendirikan sekolah "Ksatrian
Instituut" (KI)
di Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang instruksinya
diberikan dalam bahasa
Belanda. KI kemudian
mengembangkan pendidikan bisnis, namun di dalamnya diberikan pelajaran sejarah
Indonesia dan sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Nes sendiri. Akibat isi
pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial dan pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah
Keresidenan Bandung dan kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan
kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea dan
Tiongkok. DD kemudian juga dilarang mengajar.
Kegiatan sebelum pembuangan. Karena
dilarang mengajar, Douwes Dekker
kemudian mencari penghasilan dengan bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di
Jakarta. Ini membuatnya dekat dengan Mohammad
Husni Thamrin,
seorang wakil pribumi di Volksraad.
Pada saat yang sama, pemerintah Hindia Belanda masih trauma akibat
pemberontakan komunis (ISDV) tahun 1927, memecahkan masalah
ekonomi akibat krisis
keuangan 1929, dan
harus menghadapi perkembangan fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa (Europaeer). Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda, pada tahun 1940 mengakibatkan
ditangkapnya ribuan orang Jerman di Hindia Belanda, berikut orang-orang Eropa
lain yang diduga berafiliasi Nazi. DD yang memang sudah "dipantau",
akhirnya ikut digaruk karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang Indocina Perancis. Ia juga dituduh komunis.
Perjuangan pada masa Revolusi Kemerdekaan
dan akhir hayat. Tak lama setelah kembali ia segera
terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama
ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet
Sjahrir III, yang
hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia menjadi
anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang
keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi
penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia
dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.
Pada periode
ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah di
Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah
pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari
sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah diinterogasi ia lalu
dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali. Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah
dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke
Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah
renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya "Djiwa
Djuwita") di Lembangweg. Di
Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya
yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit
1950: 70 jaar konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya. Ernest Douwes Dekker wafat dini hari
tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; 29 Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra,
Bandung.
Penghargaan Jasa Douwes Dekker dalam perintisan
kemerdekaan diekspresikan dalam banyak hal. Di setiap kota besar dapat dijumpai
jalan yang dinamakan menurut namanya: Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung
utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan Setiabudi. Di Jakarta
bahkan namanya dipakai sebagai nama suatu kecamatan, yakni Kecamatan Setiabudi di Jakarta Selatan.
Di Belanda, nama Douwes Dekker
juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan arah kolonialisme
(meskipun hampir sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik dengan
pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh "pengkhianat".
Sumber :
Wikipedia. 2014. Ernest Douwes Dekker.
http://id.wikipedia.org/wiki/ErnestDouwesDekker. diakses tanggal 11 September 2014
0 komentar:
Posting Komentar
[ terimakasih, sudah membaca seikat kalimat...]