Resensi Novel "Hafalan Shalat Delisa" karya Tere Liye ^^



Resensi Novel

Judul Buku                  : Hafalan Shalat Delisa
Judul Resensi              : Ketegaran dibalik Perjuangan Delisa
Pengarang                   : Darwis Tere Liye
Penerbit                       : Republika
Tahun Terbit                : XIII, Januari 2011
Tebal Buku                  : 266 Halaman
Harga Buku                 : Rp.46.000,-






Subhanallah, dengan rapinya Tere Liye menggambarkan perihnya kehidupan seorang gadis kecil tokoh utama dalam novel ini bernama Delisa, gadis kecil asal Lhok-Ngah Aceh berusia 6 tahun ini penggemar warna biru, penggemar coklat, berambut keriting, bermata hijau, kulit putih kemerahan dan sangat hobi dengan bermain sepak bola. Ia cerdas, polos dan suka bertanya, sehingga sangat menggemaskan bagi orang-orang yang berada didekatnya. Delisa tinggal bersama umminya bernama Salamah dan ketiga kakaknya bernama Cut Alisa Fatimah, kedua kakak Delisa yang kembar bernama Cut Alisa Zahra dan Cut Alisa Aisyah. Ayahnya yang biasa dipanggil Abi bernama Usman, beliau bekerja dikapal tanker dan baru pulang setiap 3 bulan sekali.
Delisa akan menempuh ujian diSekolah Dasarnya di Lhok Ngah, ujiannya yakni untuk dapat menghafal bacaan shalat dengan baik dan benar serta mendapat predikat lulus dari gurunya bernama bu guru Nur, ujian yang akan ditempuh Delisa sama halya dengan ketiga kakaknya yang terdahulu sudah lulus ujian hafalan shalat, seperti sebuah tradisi dikeluarga Delisa yakni jika lulus ujian hafalan shalat maka ummi akan memberi hadiah kalung, ketiga kakaknya sudah memiliki kalung itu. Delisa sangat termotivasi akan hadiah yang diberikan ummi sebuah kalung yang sudah ia beli dengan ummi di toko mas paten, pemiliknya bernama Koh Acan keturunan China. Pada saat memilih, Koh Acan menawarkan sebuah kalung emas seberat 2 gram berinisial huruf D untuk Delisa, ia pun mulai antusias untuk segera memilikinya.  “Kalung, yang sugguh tanpa didasari Delisa, akan membawanya ke semua lingkaran mengharukan cerita ini”.

 
Ahad 26 Desember 2004
Ujian hafalan shalat Delisa pun dimulai, ummi Salamah menunggu diluar kelas beserta wali murid yang lainnya. Cut Alisa Delisa, suara bu guru Nur memanggil Delisa untuk segera mempersiapkan diri maju didepan, mukena berwarna biru menutupi seluruh tubuhnya. Delisa mempraktekkan hafalan shalatnya didepan kelas. tiba-tiba ketika ussai ber-takbiratul-ihram (pada kata wa-ma-yaya, wa-ma-ma-ti), dasar bumi, lantai bumi retak seketika, tanah bergetar dahsyat menjalar menggetarkan dunia ratus ribuan kilometer. Air laut seketika mendidih, tersedot kerekahan maha luas. Gempa berkekuatan 8,9 SR itu membuat air laut teraduk, Tsunami menyusul menyapu seisi daratan.
Namun Delisa yang menanamkan dengan baik nasehat ustadznya ketika shalat hanya ada satu dipikiran, tetap khusyu’ dan terus saja melafalkan bacaan-bacaan shalat, karena ia hanya menempatkan satu fokus, kepada Allah. Tapi tsunami terlalu kuat untuk sekedar menghayutkan tubuh lemahnya, hingga kemudian membiarkan Delisa terdampar di antara semak belukar. Enam hari ia tak sadarkan diri, ketika sadar ia menemukan kakinya terjepit, Delisa hanya bisa terbaring lemah hingga akhirnya salah seorang prajurit Amerika menemukannya, kemudian ia bawa dan dirawat oleh sukarelawan diatas kapal angkatan laut Amerika.
Delisa masih saja tak sadarkan diri, sampai ketika seorang ibu yang dirawat disampingnya melakukan shalat tahajud dan melafalkan do’a bacaan shalat. Delisa akhirnya sadar, dan harus menerima kenyataan bahwa kakinya harus diamputasi dan ia harus menerima beberapa luka jahitan disekujur tubuhnya. Tapi dibalik semua itu, Delisa masih bisa bertemu dengan abinya.
Delisa bukanlah gadis kecil berusia enam tahun yang biasa saja, ia mampu menjadi lebih dewasa dan kuat dibalik usianya. Ia memulai kembali kehidupan baru bersama abinya di posko-posko pengungsian, kembali bersekolah yang baru dibuka oleh sukarelawan. Tetapi satu hal yang Delisa sesalkan adalah hilangnya hafalan-hafalan bacaan shalat. Seketika ia sadar bahwa selama ini, ia tak tulus menghafalkannya. Ia menghafal demi imbalan coklat dari ustadznya dan kalung dari umminya. Sejak saat itu, ia bertekad untuk kembali menghafalkannya terlebih setelah suatu hari ia bermimpi bertemu dengan umminya yang memintanya untuk tetap menyelesaikan hafalan shalatnya kembali.
Hari itu tiba, teman-teman Delisa dan kak Ubay salah seorang sukarelawan PMI, usai bermain-main, kak Ubay mengimami mereka semua untuk melaksanakan shalat Ashar berjama’ah. Untuk pertama kalinya, Delisa mampu menyelesaikan shalatnya dengan sempurna, tanpa tertinggal ataupun terbalik dari setiap bacaannya. Ia berhasil menempatkan satu fokus dari takbiratul ikhram hingga berakhirnya salam kedua.
Selesai shalat Ashar, Delisa pergi kesungai untuk mencuci tangan. Ia melihat pantulan cahaya matahari senja dari sebuah benda yang terjuntai di semak belukar, berada di seberang sungai. Mendadak hati Delisa bergetar. Delisa berkata “ya Allah, bukankah itu seuntai kalung?”. Ternyata Delisa benar, benda itu adalah sebuah kalung yang indah.kalung berinisial D, untuk Delisa, yang dijanjikan oleh ibunya ketika ia berhasil melewati ujian hafalan shalat, yang membuat Delisa bertambah terkejut kalung itu ternyata bukan tersangkut di dahan, tetapi tersangkut di pergelangan tangan, yang sudah sempurna menjadi kerangka manusia, putih belulang, utuh bersandarkan semak belukar tersebut. Tangan itu adalah jasad tangan ummi yang sudah 3 bulan lebih menggenggam kalung emas seberat 2 gram berinisial huruf D, untuk Delisa. Delisa kini tersadar bahwa keikhlasan lah yang mampu membuat Delisa mampu menghafal bacaan shalat. Bukan untuk hadiah kalung tersebut, namun untuk mendo’akan ummi Salamah, Kak Fatimah, kak Zahra dan kak Aisah di surga.






Novel Hafalan Shalat Delisa ini dibaca hingga usai sangat menyentuh hati pembaca termasuk saya sendiri, menurut saya novel ini sangat bagus untuk dibaca semua kalangan, baik anak-anak maupun remaja bahkan orang tua sekalipun. Pesan yang tersirat dalam novel ini memberikan banyak inspirasi bagi para pembacanya. Isi novel ini penuh dengan perenungan bagi siapa saja yang khusyu’ mengkhayati alur cerita ini, isi cerita dibalut dengan suasana tegang, haru, serta menonjolkan keharmonisan keluarga berbalut Islami ditengah pulau Lhok Ngah Aceh dan memiliki makna tersendiri bagi penikmat novel ini. Bahasa yang digunakan sederhana sehingga mudah dipahami pagi penikmat pembaca, serta penulis menyajikan imajinasi untuk para pembaca mengenai alur dan setting cerita tersebut mengenai tsunami di Aceh tahun 2004 dan kehidupan usai dilanda bencana menggetarkan dunia tersebut.
Novel yang diciptakan oleh Tere Liye dengan aliran romantis sentimentalis ini, mampu membuat para penikmat membaca menciptakan suasana romantis dan mengesankan. Kekurangan yang ada dinovel ini penulis terlalu tinggi atau berlebihan menggambarkan sifat tokoh anak pada novel ini. Selain berwujud dalam sebuah buku, novel Hafalan shalat Delisa ini, sudah difilmkan pada tanggal 22 Desember 2011.

Film “Hafalan Shalat Delisa” adalah sebuah film yang diangkat dari novel berjudul sama, karya Tere Liye. Novel ini memang terkenal lantaran ceritanya yang begitu menyentuh, tentunya akan ada perbedaan ketika novel ini diangkat ke layar lebar. Demi menjaga perasaan warga Aceh, lokasi pengambilan gambar memang sengaja tidak dilakukan di daerah aslinya, melainkan di daerah Ujung Genteng dan Bogor. Perbedaan yang menonjol di film ini yakni, sang produser tidak terlalu banyak menciptakan sentuhan didalam film ini melainkan banyak menghilangkan adegan yang seharusnya ditampilkan. Padahal di novel sebelumnya pengarang lebih menonjolkan suasana yang tegang, haru dan mengesankan terlebih dengan suasana keluarga yang bahagia didalam novelnya, tetapi di film ini hampir keseluruhan adegan ini 60 persen produser menceritakan pasca kejadian tsunami Delisa dengan Abinya memulai kehidupan baru.
Tokoh utama yakni Delisa yang diperankan Chantiq (pemeran Delisa) sangat berbeda dengan Delisa yang di dalam novelnya digambarkan sebagai anak lucu, berambut ikal, berwarna pirang dan bermata hijau. Delisa sangat lucu dan menggemaskan karena penampilannya yang mirip dengan bule, berbeda dengan anak Lhok Ngah lainnya. Sedangkan di filmnya, penampilan Delisa nampak tidak jauh berbeda dengan anak-anak lainnya, seperti amat hitam, rambut lurus, dan kulit sedikit gelap, dan tidak terlalu menggemaskan.





Pada gambar diatas, ketika Delisa terdampar setelah hanyut dibawa gelombang tsunami yang sangat dahsyat serta terhantam oleh benda-benda keras, sehingga mukanya tidak semulus pada adegan tersebut. Terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara film dengan novel yang digambarkan oleh Tere Liye, bagi yang belum membaca novelnya ini adalah kondisi yang digambarkan oleh Tere Liye, sang penulis dalam novelnya.
f.png“muka Delisa biru lebam, sekujur tubuhnya juga penuh baret dan luka, sisa guratan pohon kelapa, ranting-ranting pohon lainnya, benda-benda yang menghantam tubuhnya sepanjang terseret gelombang tsunami, juga semak-semak yang sekarang mencengkeram kaki kanannya”.





Perbedaan yang sangat menonjol diakhir film ini, dengan cerita novel yang dituliskan oleh Tere Liye. Delisa, menemukan jasad umminya, diseberang sungai, ketika shalat Ashar. Dari seberang sungai itu, Delisa sebenarnya hampir tidak mengenali jasad yang berada di semak belukar, hanya saja kalung yang berinisial D untuk Delisa begitu bercahaya, seakan-akan pertanda bahwa itu lah umminya. Kutipan novelnya “kalung itu ternyata tersangkut didedahanan. Tidak juga tersangkut di dedaunan. Tetapi kalung itu tersangkut ditangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia putih. Tulang-belulang utuh, bersandarkan semak belukar tersebut”. Ini adalah kutipan asli pada novelnya, bahkan saat membaca saya terharu dan sempat menangis. Tetapi jika ditonton filmnya, saya kecewa dengan endingnya.
Bayangkan mayat yang terombang-ambing oleh gelombang tsunami, masih dalam keadaan utuh ketika didapati 3 bulan kemudian. Padahal dalam novelnya, Delisa hanya dapat mengenali jasad umminya, karena jasad yang tinggal kerangka tulang itu memegang kalung berinisial D untuk Delisa. Deskripsi novel jauh berbeda dengan difilmnya. Novel Delisa lebih membawa emosi kepada pembacanya. Begitu detail dan klimaks untuk beberapa adegan, bahkan saya sempat meneteskan air mata.

0 komentar:

Posting Komentar

[ terimakasih, sudah membaca seikat kalimat...]